Aku berdiri memojok di sudut ruangan. Rasa minder dan tak percaya diri menguasai tubuhku.
Takut akan kekalahan dalam kompetisi ini. Melihat banyak sainganku yang mungkin kelihatannya lebih hebat daripadaku.
"Dini!" seru guruku. Aku melangkah menghampiri Bu Lani, guru seni di sekolahku. Beliau yang mendampingiku dalam mengikuti kompetisi membuat poster hari ini.
"Bu, Dini takut." ucapku pelan.
"Hush, semangat! Gak boleh takut, hadapi tantanganmu dengan berani." ucapnya memberi semangat.
Dengan ragu aku mempersiapkan diriku, dan berjalan menuju tempat yang ditentukan oleh panitia.
Rasanya ingin aku berlari dari tempat ini, dan bersembunyi di suatu tempat yang tak ada satu orang pun yang mengetahuinya.
Aku mulai mengeluarkan alat menggambarku, dan mengambil nafas perlahan.
Kemudian berdoa mohon bimbingan Yang Mahakuasa.
"Baik... Waktu kalian 90 menit, silahkan membuat poster sesuai imajinasi kalian dengan tema Lingkungan. Waktu dimulai sekarang!" seru panitia memulai acara kompetisi.
Aku mulai menggambar poster, tanpa mempedulikan apapun. Kuberusaha membuat sebagus mungkin poster ini.
Tak terasa, waktu yang ditentukan telah habis. Aku bangkit, merapikan alat gambarku dan berjalan menghampiri Bu Lani.
"Bagaimana?" tanya beliau.
"Tegang bu." jawabku.
"Kita tunggu pengumumannya. Ini, makanlah." perintah Bu Lani sambil menyodorkan sebungkus roti kepadaku. Aku menerimanya, tak lupa kuucapkan terima kasih.
Aku memakan roti itu.
Lama aku menunggu hasil pengumumannya. Rasa bosan merasuki tubuhku. Panasnya ruangan membuatku tak betah berada lama-lama dalam ruangan ini.
"Bu, Dini jalan keluar dulu." ucapku.
Bu Lani mengangguk.
Aku pun segera berjalan keluar.
Kuhirup udara segar begitu aku sampai di luar ruangan. Sejuk berada di luar sini daripada berada di dalam sana.
"Hai, my name is Wanda." ucap seseorang kepadaku.
Aku menoleh ke arah orang itu.
Tampak gadis bule berdiri di sisiku dan tersenyum kepadaku.
Aku membalas senyuman manisnya.
"Dini." ucapku memperkenalkan diri.
"Aku cemas menunggu hasilnya. Ehm,... mau mengobrol... di sana?" tanyanya dengan bahasa indonesia yang masih tersendat-sendat, sambil menunjuk salah satu bangku di bawah pohon mangga.
Aku mengangguk dan berjalan mengikutinya.
Kami pun hanyut dalam obrolan yang lumayan seru menurutku.
Wanda berasal dari London, dua bulan yang lalu dia pindah ke Indonesia dan bersekolah di salah satu SMP Swasta di kotaku.
Nama lengkapnya Giselle Wandarisya Saunders, menurutku Wanda orang yang asyik dan mudah bergaul.
Pertemuanku dengannya menyenangkan hatiku, menghilangkan rasa bosan dalam hatiku.
"Dini, do you have phonenumber?" tanyanya masih menggunakan bahasa inggris.
"Yes, i do. This is my phonenumber 0853xxxxxxxx." jawabku seraya memberikan nomor ponselku.
Satu jam kemudian, hasil pengumuman diumumkan.
Aku merasa jantungku berdebar.
Sampai juara 3 disebutkan, aku tak mendengar namaku di sebut.
Hingga....
"Juara 2 diraih oleh....
Andini Resya Finestyka, dari SMP Negeri 7." ucap panitia kompetisi.
Aku melonjak gembira, walau tak juara satu. Namun, aku cukup puas.
Kulihat Wanda tersenyum padaku, kubalas juga dengan senyuman termanisku.
*****
Setelah kompetisi itu, aku dan Wanda sering berkomunikasi. Bahkan, sering jalan keluar bersama.
Aku merasa dia sahabat terbaik yang pernah aku punya. Dan Wanda termasuk anak yang tidak egois, dan mengutamakan arti persahabatan. Dan aku juga sering melatihnya dalam berbahasa indonesia. Kini, Wanda tidak lagi kesusahan dalam berbahasa indonesia.
Hari berlalu dengan cepat, tak terasa aku sudah mengenal Wanda selama 28 hari.
Suatu hari, Wanda meminta aku menemuinya di toko buku Gramedia.
Aku pun menyanggupi permintaannya.
Pukul 12:45 WIB, aku menaiki sepeda fixie milikku menuju toko buku Gramedia.
Sesampainya di sana, segera kuparkirkan sepedaku dan bergegas masuk ke dalam toko.
Aku berjalan menuju bagian novel.
Tempat favorit Wanda mencari buku.
Kulihat dirinya berdiri menantiku di sana. Aku menghampirinya dan tersenyum kepadanya.
"Hai." sapaku.
"Hai juga." balasnya. Kulihat tangannya membawa sebuah novel teenlit berjudul Seperti Bintang karya Regina Feby.
"Kamu mau beli novel itu?" tanyaku sambil menatap novel di tangannya.
Dia tersenyum dan mengangguk. "Judulnya menarik." katanya.
Aku hanya manggut-manggut dan menatap sederet novel di rak. Ku raih novel berjudul 'Fairish' karya Esti Kinarsih, keinginanku untuk membeli novel itu pun muncul.
"Din, ada yang mau aku katakan." kata Wanda seusai kami membeli novel.
"Katakan." ucapku.
"Aku... aku akan kembali ke London. Besok. Aku cuma mau ucapkan terima kasih, kamu sahabatku yang terbaik." katanya.
Kata-kata Wanda yang baru saja ia lontarkan membuat aku terkejut.
Hanya sebentar aku mengenalnya, dan kini ia akan pergi?
"Kok balik lagi?" tanyaku.
"Mamaku harus menyelesaikan kerjanya di sana. Aku terpaksa ikut.
Tahukah, kamu adalah sahabat terbaikku. Terima kasih atas bantuanmu padaku selama ini, Wanda." ucapnya.
"Satu bulan ini, bulan yang menggembirakan bagiku. Aku mempunyai teman baru, yaitu kamu. Aku janji, di sana nanti kita akan tetap kontak lewat e-mail. Dan aku mohon jangan lupakan aku." lanjut Wanda.
"Iya, pasti." jawabku sambil mengangguk.
Kami berpelukan untuk terakhir kalinya.
***
Keesokan harinya, aku menelpon Wanda sebelum dia berangkat.
"Halo?"
"Halo. Wanda? I just wanna say good bye and be carefull." ucapku melalui telepon.
"Thank you, Din. I will remember you forever." ucapnya.
Tanpa kusadari air mataku menetes, terharu akan hal ini.
"Good bye." bisiknya lalu menutup ponselnya.
"Good bye, Wanda. Youre my best friend forever." bisikku dalam hati.
Pertemuan awal bulan yang menyenangkan, dan pertemuan terakhirku dengan Wanda ternyata tepat di akhir bulan.
Aku hanya berdoa agar Wanda selalu dilindungi oleh Yang Mahakuasa.
"Indahnya persahabatan. Teman satu bulanku, aku selalu mengingatmu." bisikku.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar