Air mata Bunga semakin deras mengalir.
"Bunga udah gak punya semangat Bun." ucap Bunga lirih.
"Bunga..."
"Bun, Bunga ingin sendiri." ucap Bunga memotong ucapan ibunya.
Dengan berat hati, ibu Bunga meninggalkan Bunga sendiri dalam kesedihannya.
Suasana kembali sunyi, air mata Bunga mengalir. Dialihkannya pandangan ke arah luar jendela.
Tampak beberapa anak pulang dari sekolah, wajah mereka gembira. Membuat Bunga merasa iri.
"Aku ingin sekolah."kata Bunga dalam hati.
Bunga menggerakkan rodanya menjauhi jendela. Dunia dibalik jendela itu, membuat hatinya merasa sakit.
***
"Bunga..." seru seorang gadis memanggil nama Bunga dari luar kamarnya.
Bunga terduduk tegak di kursinya.
Tak berapa lama kemudian, pintu kamarnya terbuka, dan muncul dua gadis sebaya dengan Bunga.
"Hai Bunga." sapa salah satu gadis itu.
Bunga tak menjawab, dan membiarkan dua gadis itu mendekati kursi rodanya.
"Bunga, kita bawa sesuatu buat kamu. Semoga suka ya." ucap gadis yang lainnya, lalu menyodorkan sebuah boneka teddy bear kepada Bunga.
Bunga menatap boneka teddy bear itu, lalu menatap dua gadis di depannya.
Ditatapnya kedua sahabatnya sejak kecil itu.
"Ini, buat kamu Bunga. Terimalah." ucap gadis itu yang bernama Linda.
Perlahan, tangan Bunga bergerak dan menerima boneka itu.
Matanya menatap boneka itu, boneka lucu dari dua sahabatnya yang setia menemaninya dalam kesedihannya.
"Bunga, kamu seneng kan sama bonekanya? Aku tadi ndak tahu apa-apa, soalnya Linda yang milihin." ucap Puji salah satu sahabatnya dengan logat jawa yang sudah mengental.
Bunga mengangguk samar-samar. Dipeluknya boneka itu, sambil menatap Puji dan Linda yang tersenyum kepadanya.
Kreek..
Pintu kamar Bunga terbuka, kemudian ibu Bunga muncul.
Beliau tersenyum kepada Bunga dan teman-temannya.
"Bunga, siap-siap cuci darah ya. Linda dan Puji sudah siap mau anterin kamu." kata ibu Bunga.
Bunga mengendorka pelukannya, lalu menggeleng.
"Bunga, gak mau cuci darah." ucap Bunga lirih.
Ibu Bunga terbelalak. Begitu juga dengan Puji dan Linda.
"Lho kenapa?" tanya Linda.
Bunga menggeleng tak menjawab pertanyaan Linda.
"Ayolah Bunga, kita temenin kamu kok. Aku ndak akan kemana-mana sama Linda." kata Puji.
Bunga tetap menggeleng, lalu meneteskan air mata. Seketika itu juga Bunga terjatuh dari kursi rodanya dan tergeletak di lantai tak sadar kan diri.
Ibu Bunga, serta Linda dan Puji menjadi panik. Mereka segera menggendong Bunga menuju mobil dan segera membawa Bunga ke rumah sakit.
***
Beberapa orang dan perawat lalu lalang di koridor rumah sakit. Ibu Bunga, Linda, dan Puji menunggu Bunga yang masih di periksa dengan perasaan cemas.
Tak berapa lama kemudian, dokter Doni yang memeriksa Bunga keluar.
Ibu Bunga pun segera menyambut dokter itu dan menanyakan kondisi Bunga.
"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Ibu Bunga.
Dokter Doni melepas kacamatanya.
"Mari ikut saya ke ruangan saya Bu. Nanti saya bicarakan di sana." ajak Dokter Doni. Ibu Bunga menurut dan mengikuti Dokter Doni menuju ruangannya.
Sementara Linda dan Puji menemani Bunga yang masih tak sadarkan diri di kamar rawat.
"Bunga sudah tidak ada harapan lagi. Ginjalnya hanya berfungsi 5%, tidak bakal bertahan lama. Dan.... kemungkinan besar waktunya tidak lebih dari dua minggu, Bu." kata Dokter Doni kepada ibu Bunga.
Betapa hancur hati Ibu Bunga mendengar hal itu, air matanya menetes membasahi pipinya.
"Terima kasih, Dok." ucap ibu Bunga disela banjir air mata, lalu keluar dari ruangan Dokter Doni.
Bunga sudah sadar di ranjang rumah sakit, bersama Puji dan Linda di sisi ranjangnya.
Ibu Bunga melangkah pelan memasuki kamar rawat Bunga, dihapusnya air mata, dan berusaha tersenyum.
"Bunga, sudah sadar?" tanya ibu Bunga.
Bunga tersenyum kecil dan mengangguk walau samar-samar.
Kemudian, ruangan itu pun menjadi sunyi. Dan tanpa sadar air mata Ibu Bunga menetes, membuat Bunga menjadi bingung.
"Bunda... Ada apa?" tanya Bunga lirih.
Ibunya hanya mengangguk dan menghapus air matanya.
"Bun.. Jangan bohong." kata Bunga.
Air mata ibunya pun mengalir semakin deras. Dan setelah beberapa kali didesak, akhirnya ibunya pun menceritakan semuanya.
Bunga terdiam, air matanya mengalir. Dadanya merasa sulit untuk bernafas, tak percaya dengan apa yang baru di dengarnya.
"Maafkan bunda." isak ibunya. Puji dan Linda pun berdiri tanpa suara, mereka juga tak dapat membendung air mata.
"Bunga, ibu minta maaf. Bunga tidak bisa ibu rawat sebaik mungkin." ucap ibunya lirih.
Bunga tak mampu berkata-kata, air matanya terus membasahi pipi.
****
Hari hari berlalu dengan cepat.
Bunga belum diperbolehkan untuk pulang ke rumahnya dan harus dirawat di rumah sakit.
Tiap hari Bunga selalu menangis, berbicara pun sangat jarang. Hatinya takut menghadapi kematian.
Puji dan Linda pun berusaha menghibur Bunga, begitu juga ibunya.
Tanpa Bunga sadari, hari ini adalah tanggal 28 Oktober. Hari ulang tahunnya.
Kreek..
Pintu terbuka, Bunga menoleh ke arah pintu tersebut. Darisana muncul ibu, Linda, dan Puji dengan kue tart di tangan ibunya. Mereka berjalan, menghampiri Bunga sambil menyanyikan lagu ulang tahun.
"Happy birthday, Bunga." ucap ibu, Linda, dan Puji.
Air mata Bunga menetes, tak tahu harus berkata apa.
"Bunga, ibu tahu kamu sedih dan takut. Tapi, ibu mohon Bunga tersenyum sekali saja di bulan Oktober ini. Apalagi hari ini ulang tahun Bunga." kata ibunya.
"Betul Bunga, guyu setitik ae. Kan 'saiki' ulang tahunmu." kata Puji dengan logat jawanya.
"Bunga, kami mohon tersenyumlah. Hanya itu saja." lanjut Linda.
Bunga menatap mereka satu per satu. Terharu hatinya melihat perhatian dari orang-orang yang menyayanginya.
Perlahan, diberikannya senyum untuk ketiga orang yang amat berharga baginya.
"Terima... kasih.." ucap Bunga lirih.
"Bunga sayang, bunda minta maaf." ucap ibunya seraya memeluk Bunga.
"Iya, bun." jawab Bunga.
"Bunga, ditiup lilinnya dong." pinta Linda.
"'He.eh'. Minta permohonan." kata Puji.
Bunga memejamkan matanya dan membuat permohonannya.
"Tuhan, tolong berikan hari terindah di akhir hidupku." pinta Bunga dalam hati, lalu meniup lilin di kuenya.
"Bunga, 'matur suwun sampun guyu'." ucap Puji.
Bunga tersenyum, namun kepalanya merasa sangat pusing dan seketika itu juga dirinya merasa gelap.
***
Bunga membuka matanya perlahan, dilihatnya ibu, Puji, dan Linda berada disampingnya dengan raut wajah khawatir.
"Bunga, sudah sadar?" tanya ibunya. Bunga mengangguk.
"Bun, Ji, dan Linda... makasih buat semuanya." ucap Bunga sambil tersenyum.
Ibunya, Puji, dan Linda hanya bisa meneteskan air mata.
"Bunga sekarang sudah tersenyum, Bunga gak bisa bertahan. Waktu Bunga habis." lanjut Bunga, membuat derai air mata ibu, dan sahabatnya mengalir lebih deras.
Bunga tersenyum kepada mereka, senyuman terakhirnya di bulan Oktober kali ini.
*****
Pemakaman diwarnai tangisan beberapa kerabat Bunga. Makam Bunga berada di sisi makam ayahnya yang meninggal sejak Bunga kecil karena kecelakaan.
Puji dan Linda tak mampu berkata apapun, hanya air mata yang tak berhenti. Sementara ibu Bunga menangis histeris di sisi makam Bunga.
Hari itu tepat tanggal 30 Oktober. Akhir bulan, dan akhir hidup Bunga di dunia.
The End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar