Rabu, 05 Oktober 2011

Menulis

Menulis....

Saat aku mendengar atau membayangkan satu kata itu, aku berpikir menulis adalah hal yang aku sukai dan aku selalu belajar untuk menulis dengan baik. Mulai dari menulis puisi, hingga cerpen. Aku tahu tulisanku belum sempurna, dan aku masih harus banyak berlatih. Keinginanku adalah aku dapat menulis sesuatu yang berguna dan dapat memotivasi orang yang membaca tulisanku.
Awalnya aku pikir menulis adalah hal yang mudah, aku terlalu meremehkannya hingga aku tahu bahwa menulis tak dapat disepelekan, dan kita harus bersungguh-sungguh dalam menulis jika ingin karya atau tulisan yang diciptakan bukanlah sekedar tulisan yang tak bermanfaat dan tak ada bagusnya.
Menulis sepertinya hal yang biasa dan mudah, namun untuk menulis ada juga peraturannya. maksudku seperti menulis cerpen atau dongeng, kita tak asal membuat cerita saja. Tapi, juga harus memperhatikan isi, karakter tokoh, kosakata, dan penulisan EYD. Jika semua hal itu diremehkan, sudah dapat diduga karya yang dihasilkan samasekali tak ada bagusnya.
Sedikit saja aku berbicara tentang menulis, terima kasih telah bersedia membaca tulisanku.

I Stepped

I stepped
through the deserted streets
slowly, through the days of quiet.
Moving with certainty, the quicker ..
Because my dream is getting closer.

The desire expressed in the spoken word ...
Vagaries of the past as a teacher for me,
and I'm sure my face was going on.

Hope arises, I will not be in vain,
because that then disappear over time.
Kusingkapkan pseudo shadows,
create a new story ....

Puisiku

Kegelapan malam menakuti hatiku,
tak ada satu bintang pun yang menyinariku,
angin berhembus pelan menerpa wajahku, di ambang kesusahan,
siapakah yang mampu berbagi kesedihan denganku?
Sungguh kutakut akan semua ini,
merasa hidup seorang diri,
tak ada insan menemani,
kurindukan peluk hangat darimu,
yang tak mungkin akan kurasakan lagi,
begitu jauh kau tinggalkan aku tuk selamanya.
selamat tinggal kubisikan dalam kesunyian,
semoga kau tenang di alam sana...


F. Flora X.K.

Senin, 19 September 2011

Semangat Hidup (PUISI)

Merekah bersemi dalam hidup
Mengiringi setiap langkah yang terayun
Dibawah panas terik sang raja cahaya
hingga cahaya remang-remang dewi rembulan menyinari
Memantapkan hati menapaki takdir
Menjalani tanpa bergaul dengan keputus asaan
Meyakini impian hampir tiba
Menjauhi keminderan
Menyapu peluh,
Menyingkirkan tetes air mata,
Menumbangkan tantangan,
memupuk keyakinan
tuk semangat menjalani hidup...

Teman Satu Bulan

Aku berdiri memojok di sudut ruangan. Rasa minder dan tak percaya diri menguasai tubuhku.
Takut akan kekalahan dalam kompetisi ini. Melihat banyak sainganku yang mungkin kelihatannya lebih hebat daripadaku.

"Dini!" seru guruku. Aku melangkah menghampiri Bu Lani, guru seni di sekolahku. Beliau yang mendampingiku dalam mengikuti kompetisi membuat poster hari ini.

"Bu, Dini takut." ucapku pelan.
"Hush, semangat! Gak boleh takut, hadapi tantanganmu dengan berani." ucapnya memberi semangat.
Dengan ragu aku mempersiapkan diriku, dan berjalan menuju tempat yang ditentukan oleh panitia.

Rasanya ingin aku berlari dari tempat ini, dan bersembunyi di suatu tempat yang tak ada satu orang pun yang mengetahuinya.

Aku mulai mengeluarkan alat menggambarku, dan mengambil nafas perlahan.
Kemudian berdoa mohon bimbingan Yang Mahakuasa.

"Baik... Waktu kalian 90 menit, silahkan membuat poster sesuai imajinasi kalian dengan tema Lingkungan. Waktu dimulai sekarang!" seru panitia memulai acara kompetisi.

Aku mulai menggambar poster, tanpa mempedulikan apapun. Kuberusaha membuat sebagus mungkin poster ini.


Tak terasa, waktu yang ditentukan telah habis. Aku bangkit, merapikan alat gambarku dan berjalan menghampiri Bu Lani.

"Bagaimana?" tanya beliau.
"Tegang bu." jawabku.
"Kita tunggu pengumumannya. Ini, makanlah." perintah Bu Lani sambil menyodorkan sebungkus roti kepadaku. Aku menerimanya, tak lupa kuucapkan terima kasih.
Aku memakan roti itu.


Lama aku menunggu hasil pengumumannya. Rasa bosan merasuki tubuhku. Panasnya ruangan membuatku tak betah berada lama-lama dalam ruangan ini.
"Bu, Dini jalan keluar dulu." ucapku.
Bu Lani mengangguk.
Aku pun segera berjalan keluar.

Kuhirup udara segar begitu aku sampai di luar ruangan. Sejuk berada di luar sini daripada berada di dalam sana.

"Hai, my name is Wanda." ucap seseorang kepadaku.
Aku menoleh ke arah orang itu.
Tampak gadis bule berdiri di sisiku dan tersenyum kepadaku.
Aku membalas senyuman manisnya.
"Dini." ucapku memperkenalkan diri.
"Aku cemas menunggu hasilnya. Ehm,... mau mengobrol... di sana?" tanyanya dengan bahasa indonesia yang masih tersendat-sendat, sambil menunjuk salah satu bangku di bawah pohon mangga.
Aku mengangguk dan berjalan mengikutinya.

Kami pun hanyut dalam obrolan yang lumayan seru menurutku.

Wanda berasal dari London, dua bulan yang lalu dia pindah ke Indonesia dan bersekolah di salah satu SMP Swasta di kotaku.
Nama lengkapnya Giselle Wandarisya Saunders, menurutku Wanda orang yang asyik dan mudah bergaul.
Pertemuanku dengannya menyenangkan hatiku, menghilangkan rasa bosan dalam hatiku.

"Dini, do you have phonenumber?" tanyanya masih menggunakan bahasa inggris.
"Yes, i do. This is my phonenumber 0853xxxxxxxx." jawabku seraya memberikan nomor ponselku.

Satu jam kemudian, hasil pengumuman diumumkan.
Aku merasa jantungku berdebar.
Sampai juara 3 disebutkan, aku tak mendengar namaku di sebut.
Hingga....

"Juara 2 diraih oleh....
Andini Resya Finestyka, dari SMP Negeri 7." ucap panitia kompetisi.
Aku melonjak gembira, walau tak juara satu. Namun, aku cukup puas.
Kulihat Wanda tersenyum padaku, kubalas juga dengan senyuman termanisku.


*****

Setelah kompetisi itu, aku dan Wanda sering berkomunikasi. Bahkan, sering jalan keluar bersama.
Aku merasa dia sahabat terbaik yang pernah aku punya. Dan Wanda termasuk anak yang tidak egois, dan mengutamakan arti persahabatan. Dan aku juga sering melatihnya dalam berbahasa indonesia. Kini, Wanda tidak lagi kesusahan dalam berbahasa indonesia.

Hari berlalu dengan cepat, tak terasa aku sudah mengenal Wanda selama 28 hari.

Suatu hari, Wanda meminta aku menemuinya di toko buku Gramedia.
Aku pun menyanggupi permintaannya.

Pukul 12:45 WIB, aku menaiki sepeda fixie milikku menuju toko buku Gramedia.
Sesampainya di sana, segera kuparkirkan sepedaku dan bergegas masuk ke dalam toko.

Aku berjalan menuju bagian novel.
Tempat favorit Wanda mencari buku.

Kulihat dirinya berdiri menantiku di sana. Aku menghampirinya dan tersenyum kepadanya.

"Hai." sapaku.
"Hai juga." balasnya. Kulihat tangannya membawa sebuah novel teenlit berjudul Seperti Bintang karya Regina Feby.

"Kamu mau beli novel itu?" tanyaku sambil menatap novel di tangannya.
Dia tersenyum dan mengangguk. "Judulnya menarik." katanya.

Aku hanya manggut-manggut dan menatap sederet novel di rak. Ku raih novel berjudul 'Fairish' karya Esti Kinarsih, keinginanku untuk membeli novel itu pun muncul.

"Din, ada yang mau aku katakan." kata Wanda seusai kami membeli novel.
"Katakan." ucapku.
"Aku... aku akan kembali ke London. Besok. Aku cuma mau ucapkan terima kasih, kamu sahabatku yang terbaik." katanya.

Kata-kata Wanda yang baru saja ia lontarkan membuat aku terkejut.
Hanya sebentar aku mengenalnya, dan kini ia akan pergi?

"Kok balik lagi?" tanyaku.
"Mamaku harus menyelesaikan kerjanya di sana. Aku terpaksa ikut.
Tahukah, kamu adalah sahabat terbaikku. Terima kasih atas bantuanmu padaku selama ini, Wanda." ucapnya.
"Satu bulan ini, bulan yang menggembirakan bagiku. Aku mempunyai teman baru, yaitu kamu. Aku janji, di sana nanti kita akan tetap kontak lewat e-mail. Dan aku mohon jangan lupakan aku." lanjut Wanda.

"Iya, pasti." jawabku sambil mengangguk.
Kami berpelukan untuk terakhir kalinya.

***

Keesokan harinya, aku menelpon Wanda sebelum dia berangkat.

"Halo?"
"Halo. Wanda? I just wanna say good bye and be carefull." ucapku melalui telepon.
"Thank you, Din. I will remember you forever." ucapnya.
Tanpa kusadari air mataku menetes, terharu akan hal ini.
"Good bye." bisiknya lalu menutup ponselnya.

"Good bye, Wanda. Youre my best friend forever." bisikku dalam hati.

Pertemuan awal bulan yang menyenangkan, dan pertemuan terakhirku dengan Wanda ternyata tepat di akhir bulan.
Aku hanya berdoa agar Wanda selalu dilindungi oleh Yang Mahakuasa.

"Indahnya persahabatan. Teman satu bulanku, aku selalu mengingatmu." bisikku.

The End

Senyuman Oktober

"Bunga, tidak boleh ngomong kayak gitu. Harus semangat." ucap ibunya sambil membelai rambut Bunga penuh kasih sayang.
Air mata Bunga semakin deras mengalir.
"Bunga udah gak punya semangat Bun." ucap Bunga lirih.
"Bunga..."
"Bun, Bunga ingin sendiri." ucap Bunga memotong ucapan ibunya.
Dengan berat hati, ibu Bunga meninggalkan Bunga sendiri dalam kesedihannya.

Suasana kembali sunyi, air mata Bunga mengalir. Dialihkannya pandangan ke arah luar jendela.
Tampak beberapa anak pulang dari sekolah, wajah mereka gembira. Membuat Bunga merasa iri.

"Aku ingin sekolah."kata Bunga dalam hati.
Bunga menggerakkan rodanya menjauhi jendela. Dunia dibalik jendela itu, membuat hatinya merasa sakit.

***

"Bunga..." seru seorang gadis memanggil nama Bunga dari luar kamarnya.
Bunga terduduk tegak di kursinya.
Tak berapa lama kemudian, pintu kamarnya terbuka, dan muncul dua gadis sebaya dengan Bunga.

"Hai Bunga." sapa salah satu gadis itu.
Bunga tak menjawab, dan membiarkan dua gadis itu mendekati kursi rodanya.

"Bunga, kita bawa sesuatu buat kamu. Semoga suka ya." ucap gadis yang lainnya, lalu menyodorkan sebuah boneka teddy bear kepada Bunga.

Bunga menatap boneka teddy bear itu, lalu menatap dua gadis di depannya.
Ditatapnya kedua sahabatnya sejak kecil itu.

"Ini, buat kamu Bunga. Terimalah." ucap gadis itu yang bernama Linda.

Perlahan, tangan Bunga bergerak dan menerima boneka itu.
Matanya menatap boneka itu, boneka lucu dari dua sahabatnya yang setia menemaninya dalam kesedihannya.

"Bunga, kamu seneng kan sama bonekanya? Aku tadi ndak tahu apa-apa, soalnya Linda yang milihin." ucap Puji salah satu sahabatnya dengan logat jawa yang sudah mengental.

Bunga mengangguk samar-samar. Dipeluknya boneka itu, sambil menatap Puji dan Linda yang tersenyum kepadanya.

Kreek..

Pintu kamar Bunga terbuka, kemudian ibu Bunga muncul.
Beliau tersenyum kepada Bunga dan teman-temannya.

"Bunga, siap-siap cuci darah ya. Linda dan Puji sudah siap mau anterin kamu." kata ibu Bunga.

Bunga mengendorka pelukannya, lalu menggeleng.
"Bunga, gak mau cuci darah." ucap Bunga lirih.

Ibu Bunga terbelalak. Begitu juga dengan Puji dan Linda.

"Lho kenapa?" tanya Linda.
Bunga menggeleng tak menjawab pertanyaan Linda.

"Ayolah Bunga, kita temenin kamu kok. Aku ndak akan kemana-mana sama Linda." kata Puji.

Bunga tetap menggeleng, lalu meneteskan air mata. Seketika itu juga Bunga terjatuh dari kursi rodanya dan tergeletak di lantai tak sadar kan diri.
Ibu Bunga, serta Linda dan Puji menjadi panik. Mereka segera menggendong Bunga menuju mobil dan segera membawa Bunga ke rumah sakit.

***

Beberapa orang dan perawat lalu lalang di koridor rumah sakit. Ibu Bunga, Linda, dan Puji menunggu Bunga yang masih di periksa dengan perasaan cemas.

Tak berapa lama kemudian, dokter Doni yang memeriksa Bunga keluar.
Ibu Bunga pun segera menyambut dokter itu dan menanyakan kondisi Bunga.

"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Ibu Bunga.
Dokter Doni melepas kacamatanya.
"Mari ikut saya ke ruangan saya Bu. Nanti saya bicarakan di sana." ajak Dokter Doni. Ibu Bunga menurut dan mengikuti Dokter Doni menuju ruangannya.
Sementara Linda dan Puji menemani Bunga yang masih tak sadarkan diri di kamar rawat.

"Bunga sudah tidak ada harapan lagi. Ginjalnya hanya berfungsi 5%, tidak bakal bertahan lama. Dan.... kemungkinan besar waktunya tidak lebih dari dua minggu, Bu." kata Dokter Doni kepada ibu Bunga.

Betapa hancur hati Ibu Bunga mendengar hal itu, air matanya menetes membasahi pipinya.
"Terima kasih, Dok." ucap ibu Bunga disela banjir air mata, lalu keluar dari ruangan Dokter Doni.


Bunga sudah sadar di ranjang rumah sakit, bersama Puji dan Linda di sisi ranjangnya.
Ibu Bunga melangkah pelan memasuki kamar rawat Bunga, dihapusnya air mata, dan berusaha tersenyum.

"Bunga, sudah sadar?" tanya ibu Bunga.
Bunga tersenyum kecil dan mengangguk walau samar-samar.
Kemudian, ruangan itu pun menjadi sunyi. Dan tanpa sadar air mata Ibu Bunga menetes, membuat Bunga menjadi bingung.
"Bunda... Ada apa?" tanya Bunga lirih.
Ibunya hanya mengangguk dan menghapus air matanya.

"Bun.. Jangan bohong." kata Bunga.

Air mata ibunya pun mengalir semakin deras. Dan setelah beberapa kali didesak, akhirnya ibunya pun menceritakan semuanya.


Bunga terdiam, air matanya mengalir. Dadanya merasa sulit untuk bernafas, tak percaya dengan apa yang baru di dengarnya.

"Maafkan bunda." isak ibunya. Puji dan Linda pun berdiri tanpa suara, mereka juga tak dapat membendung air mata.

"Bunga, ibu minta maaf. Bunga tidak bisa ibu rawat sebaik mungkin." ucap ibunya lirih.

Bunga tak mampu berkata-kata, air matanya terus membasahi pipi.


****

Hari hari berlalu dengan cepat.
Bunga belum diperbolehkan untuk pulang ke rumahnya dan harus dirawat di rumah sakit.
Tiap hari Bunga selalu menangis, berbicara pun sangat jarang. Hatinya takut menghadapi kematian.

Puji dan Linda pun berusaha menghibur Bunga, begitu juga ibunya.

Tanpa Bunga sadari, hari ini adalah tanggal 28 Oktober. Hari ulang tahunnya.

Kreek..
Pintu terbuka, Bunga menoleh ke arah pintu tersebut. Darisana muncul ibu, Linda, dan Puji dengan kue tart di tangan ibunya. Mereka berjalan, menghampiri Bunga sambil menyanyikan lagu ulang tahun.

"Happy birthday, Bunga." ucap ibu, Linda, dan Puji.
Air mata Bunga menetes, tak tahu harus berkata apa.

"Bunga, ibu tahu kamu sedih dan takut. Tapi, ibu mohon Bunga tersenyum sekali saja di bulan Oktober ini. Apalagi hari ini ulang tahun Bunga." kata ibunya.
"Betul Bunga, guyu setitik ae. Kan 'saiki' ulang tahunmu." kata Puji dengan logat jawanya.
"Bunga, kami mohon tersenyumlah. Hanya itu saja." lanjut Linda.

Bunga menatap mereka satu per satu. Terharu hatinya melihat perhatian dari orang-orang yang menyayanginya.

Perlahan, diberikannya senyum untuk ketiga orang yang amat berharga baginya.

"Terima... kasih.." ucap Bunga lirih.

"Bunga sayang, bunda minta maaf." ucap ibunya seraya memeluk Bunga.
"Iya, bun." jawab Bunga.

"Bunga, ditiup lilinnya dong." pinta Linda.
"'He.eh'. Minta permohonan." kata Puji.

Bunga memejamkan matanya dan membuat permohonannya.
"Tuhan, tolong berikan hari terindah di akhir hidupku." pinta Bunga dalam hati, lalu meniup lilin di kuenya.

"Bunga, 'matur suwun sampun guyu'." ucap Puji.
Bunga tersenyum, namun kepalanya merasa sangat pusing dan seketika itu juga dirinya merasa gelap.

***

Bunga membuka matanya perlahan, dilihatnya ibu, Puji, dan Linda berada disampingnya dengan raut wajah khawatir.
"Bunga, sudah sadar?" tanya ibunya. Bunga mengangguk.
"Bun, Ji, dan Linda... makasih buat semuanya." ucap Bunga sambil tersenyum.
Ibunya, Puji, dan Linda hanya bisa meneteskan air mata.
"Bunga sekarang sudah tersenyum, Bunga gak bisa bertahan. Waktu Bunga habis." lanjut Bunga, membuat derai air mata ibu, dan sahabatnya mengalir lebih deras.
Bunga tersenyum kepada mereka, senyuman terakhirnya di bulan Oktober kali ini.

*****

Pemakaman diwarnai tangisan beberapa kerabat Bunga. Makam Bunga berada di sisi makam ayahnya yang meninggal sejak Bunga kecil karena kecelakaan.

Puji dan Linda tak mampu berkata apapun, hanya air mata yang tak berhenti. Sementara ibu Bunga menangis histeris di sisi makam Bunga.

Hari itu tepat tanggal 30 Oktober. Akhir bulan, dan akhir hidup Bunga di dunia.

The End.

Sabtu, 17 September 2011

Dua Cincin (cerpen)

"Rangga..." seru seorang wanita.
Rangga menoleh dan tersenyum, "Hai Sayang.." ucap Rangga.
Wanita yang bernama Lili itu tersenyum.
"Hai juga," ucap Lili lalu mengecup pipi Rangga.

Rangga dan Lili sudah menikah sejak 2 bulan lalu, dan mereka sepasang suami istri yang harmonis.

"Say, gak sarapan?" tanya Lili.
"Nanti aja deh." jawab Rangga.
"Ouw." ucap Lili.

Lalu ponsel Rangga berdering, Rangga mengangkatnya.
"Hallo."
"Hallo, Rangga?" terdengar suara wanita diseberang.
"Ada apa Ma?" tanya Rangga.
"Ngga, kamu sedang bersama Lili?" tanya Mamanya.
"Iya ma. Kenapa?"
"Mama mau ngomong sesuatu."
"Apa, ma?"
"Rangga, kamu inget sama Lani kan? Teman kamu saat kecil?"
"Iya, ma. Kenapa?"
"Mama harap kamu dapat memenuhi permintaan mama. Menikahlah dengan Lani." ucap mamanya, yang membuat Rangga terkejut.
"Apa ma?!?"

Lili menoleh ke arah Rangga dengan penasaran.
"Ada apa, sayang?" tanya Lili.
Rangga menoleh ke arah Lili dan tersenyum.
"Gapapa kok sayang." jawab Rangga.

Rangga kemudian menjauh dari Lili.

"Ma, mama bercanda kan? Mama tahu kan aku udah punya istri. Lili." ucap Rangga.
"Mama ngerti sayang. Tapi kamu bisa kan punya istri 2? Demi persahabatan mama dengan keluarga Lani. Lagipula Lani juga cantik, tidak beda jauh dengan Lili." ucap mamanya.
"Tapi ma, aku ga cinta sama Lani." ucap Rangga.
"Mama mohon Rangga." pinta mamanya.

Rangga menghela nafas, kepalanya terasa pusing.
"Aku akan pikirkan ma." ucap Rangga pasrah.
"Baiklah." jawab mamanya kemudian memutuskan sambungan.

Rangga menjadi bingung.
"Gue ga mungkin nikah sama Lani, gue ga sayang sama dia. Lagian Lili nanti gimana? Tapi gimana juga dengan mama gue?" batin Rangga.

Rangga pun kembali menghampiri Lili.

"Kok lama sayang,? Ada apa sih?" tanya Lili.
"Gapapa." jawab Rangga sambil mengulaskan senyuman terbaiknya.
"Ouw, kalau gitu sekarang kita makan yuk?" ajak Lili.
"Okey." angguk Rangga.
Mereka pun menuju ruang makan.



Skip


Malam harinya, Lili telah tertidur pulas disamping Rangga. Namun Rangga tidak bisa tidur. Dirinya masih terpikirkan oleh pernikahan dirinya dengan Lani.

"Apa gue harus nikah diam-diam? Supaya mama seneng? Tapi gimana dengan Lili?" batin Rangga, namun baginya sangat sulit mencari penyelesaian dari masalahnya.


Keesokan harinya Rangga mengunjungi mamanya.

"Hai Rangga." ucap mamanya begitu Rangga sampai dirumah mamanya.
"Hai ma." jawab Rangga sambil memberi salam pada mamanya.

"Bagaimana Rangga, keputusanmu?" tanya Mamanya.
Rangga menghela nafas.

"Ma, tolong jangan tanya hal itu. Aku ga bisa nikah lagi. Kasihan Lili." ucap Rangga.
"Mama mohon, kamu bisa memenuhi keinginan mama." pinta mamanya.

"Ma, tapi aku ga bisa." tolak Rangga.

Mamanya terus mendesak Rangga, hingga dengan sangat terpaksa, Rangga menyetujuinya.

"Baiklah." ucap Rangga akhirnya.
Mamanya tersenyum.

"Terima kasih sayang." ucap mamanya.

"Tapi mama ga usah cerita sama Lili, biar aku yang ngomong." ucap Rangga.
"Baik Rangga." ucap mamanya.

Rangga memasuki rumahnya, dan tampak Lili telah menanti di depan rumahnya.

"Udah pulang? Yuk masuk." ajak Lili.
Rangga tersenyum dan mengikuti Lili masuk ke dalam rumah.

Dengan ragu-ragu, Rangga menceritakan semuanya.

"Li, aku mau cerita. Tapi mohon kamu dengerin sampai selesai." pinta Rangga.
"Oke." jawab Lili kemudian mendengarkan perkataan Rangga.
Rangga menceritakan semua tentang pernikahannya dengan Lani.

Lili yang tak kuasa mendengar semua itu menitikan air mata.

Rangga menghentikan ucapannya, kemudian memeluk Lili.

"Kamu jangan nangis, bagaimanapun kamu hanya seorang yang aku sayang sampai kapanpun." ucap Rangga.

"Janji?" tanya Lili. Rangga mengangguk.

"Bila itu yang diinginkan mamamu, turutilah. Aku menurut saja." ucap Lili dengan berat hati.

Rangga yang mengerti perasaan Lili hanya diam dan memeluk Lili.

Selama seminggu Rangga menjalankan pendekatan dengan Lani, dan perkenalan dengan keluarganya. Disamping itu mereka juga mempersiapkan pernikahan.

Lili hanya bisa merenung dan menangis menghadapi semua itu.
Tapi dia yakin, suatu saat semuanya akan berbuah hal baik. Hanya menunggu waktu.

Rangga menjalankan semuanya dengan enggan dan berat hati. Hatinya memberontak ingin lari dari semua ini bersama Lili. Namun, tak mungkin. Dia telah berjanji pada mamanya.

"Maafkan aku Li. Aku janji hanya menyayangimu. Sungguh aku tak sanggup menerima 2 cincin di jariku." batin Rangga sehari sebelum pernikahannya.

Hari pernikahannya tiba. Suasana rumah orangtua Rangga sangat ramai.
Tampak Lili hadir dalam acara itu, matanya tampak sendu.
Hatinya hancur berada dalam pesta ini. Sungguh tak kuasa dirinya melihat Rangga akan menikah dengan orang lain.

"Li, maafkan aku." ucap Rangga lirih.
Lili berusaha tampak tegar, diulaskannya senyuman dan berkata, "Lakukan yang terbaik, Ngga."

Rangga pun langsung memeluk Lili.

"Lili, terima kasih kamu mau membagi Rangga demi tante." ucap mama Rangga.

Lili tersenyum, "Iya Ma." ucapnya.

Satu jam kemudian acara dimulai. Lili tak kuasa menahan air matanya melihat Rangga bersanding dengan Lani di hadapan penghulu.

Tiba-tiba disela-sela acara, Lani menghentikan semuanya.

"Berhenti! Jangan lanjutkan acara ini." seru Lani.
Semuanya terkejut.

"Kenapa?" tanya mama Rangga.

"Cukup tante, aku ga mau dengan pernikahan ini. Aku ga bisa terima 2 cincin di jari Rangga, dan sejujurnya aku ga cinta sama Rangga. Aku mohon batalkan pernikahan ini tante. Aku membatalkan pernikahan ini karena Lili, aku memang sejak pertama kali tak setuju." ucap Lani panjang lebar.

Semuanya memandang Lani dengan pandangan heran.

Rangga tersenyum, "Makasih Lan." ucapnya lirih. Lani tersenyum.

Kemudian prenikahan itu dibatalkan.

Karena merasa tidak enak, Lili pergi secara diam-diam dan segera menuju rumahnya.

Setelah berganti pakaian, Lili merenung di balkon rumahnya. Tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang.
Dilihatnya Rangga memeluknya.

"Li, sekarang aku ga terikat siapapun. Hanya kamu yang menjadi istriku. Selamanya. Mamaku tak memaksaku lagi." ucap Rangga sambil terus memeluk Lili. Lili menangis terharu, dibalasnya pelukan Rangga.

"Malam ini malam terindah untuk penyelesaian semua masalah. Tak akan ada 2 cincin di jari manis Rangga. I love you forever, Rangga." batin Lili.

The End